Pangeran Dingin
Hujan baru saja
berhenti. Meninggalkan pelangi untuk menghiasi langit yang masih berkabung.
Pelangi itu sangat indah, aku bisa melihatnya dari jendela kamarku.
Aku tersenyum melihat
pelangi itu. Sudah tiga bulan semenjak kejadian itu terjadi. Sudah tiga bulan
kedua orangtuaku pergi. Sudah tiga bulan juga aku tinggal bersama paman dan
bibi. Bahkan sudah tiga bulan aku lupa bagaimana caranya tertawa.
“Azura.”
Ah, suara itu.
Dan sudah tiga bulan juga aku mendengar suara itu. Itu suara Gwen, temanku satu-satunya selama tiga bulan ini.
Ah, suara itu.
Dan sudah tiga bulan juga aku mendengar suara itu. Itu suara Gwen, temanku satu-satunya selama tiga bulan ini.
“Apa kau menangis?” tanya Gwen.
“Ah, tidak, ini hanya sedikit cipratan air hujan yang tak sengaja terkena wajahku.” tentu saja itu hanya alibiku. Aku baru saja menangis. Aku rindu kedua orangtuaku. Aku merindukan mereka…, sungguh.
“Ah, tidak, ini hanya sedikit cipratan air hujan yang tak sengaja terkena wajahku.” tentu saja itu hanya alibiku. Aku baru saja menangis. Aku rindu kedua orangtuaku. Aku merindukan mereka…, sungguh.
Gwen melayang-layang di
udara lalu menuju tepat ke sampingku. Entahlah, aku pun bingung. Aku ini bukan
indigo atau semacamnya, tapi mengapa aku bisa melihat Gwen yang bahkan bukan
manusia? Dan kenapa aku hanya bisa melihat Gwen saja?
“Gwen, darahmu,
membuatku takut,” ucapku lirih. Jujur, aku merasa takut kala Gwen muncul di
hadapanku dengan tampilan berdarah-darah. Ia tersenyum lalu merubah tampilannya
menjadi anak laki-laki yang seumuran denganku.
“Maafkan aku,” ucapnya.
“Gwen,” aku menoleh ke
arah Gwen berada. “sampai kapan kau akan terus mengikutiku?”
“Sampai aku percaya kepada seseorang yang bisa melindungimu.”
“Mengapa kau harus bilang begitu?”
“Mengapa kau terus menanyakan hal itu?” Gwen menghela napas, “Maafkan Pamanku yang waktu itu membawa mobil ketika mabuk hingga menambrak mobilmu dan merenggut nyawa kedua orangtuamu.”
“Sampai aku percaya kepada seseorang yang bisa melindungimu.”
“Mengapa kau harus bilang begitu?”
“Mengapa kau terus menanyakan hal itu?” Gwen menghela napas, “Maafkan Pamanku yang waktu itu membawa mobil ketika mabuk hingga menambrak mobilmu dan merenggut nyawa kedua orangtuamu.”
“Mengapa kau terus
meminta maaf, Gwen?” tanyaku polos.
“Karena aku merasa bersalah, Azura.”
“Mengapa kau merasa bersalah? Kan kamu juga menjadi korban.”
Gwen hanya diam.
“Karena aku merasa bersalah, Azura.”
“Mengapa kau merasa bersalah? Kan kamu juga menjadi korban.”
Gwen hanya diam.
Sejak kejadian itu, Gwen
selalu bersamaku. Dia bilang jika ia akan melindungiku –sampai ada seseorang
yang dapat melindungiku selain dia– sebagai ucapan maaf. Padahal aku sudah
memaafkannya, tapi ia masih bersikeras dengan pendiriannya.
Terdengar suara pintu
dibuka, aku pun menoleh. Oh, ternya Bibi.
“Ada apa, Bi?” tanyaku.
“Istirahatlah, Azura. Besok kau akan ikut study tour. Tidak ada bantahan, oke?” Bibi mengusap kepala ku pelan, lalu pergi melangkah ke luar.
“Baiklah.”
“Istirahatlah, Azura. Besok kau akan ikut study tour. Tidak ada bantahan, oke?” Bibi mengusap kepala ku pelan, lalu pergi melangkah ke luar.
“Baiklah.”
—
“Berhentilah
melayang-layang, Gwen.” kegiatan mengepak barangku pun terhenti karena Gwen
yang terus melayang-layang membuatku jengah.
“Kau mau aku menapak? Kan, aku sudah bukan manusia, Azura.”
“Iya juga, sih,” ucapku sedih. Aku menoleh ke arahnya yang masih asik melayang-layang. “Gwen, nanti kau tidak usah mengikutiku yaa?”
Gwen memicingkan matanya kearah ku. “Tidak,” ucapnya singkat, padat, dan jelas.
“Kau mau aku menapak? Kan, aku sudah bukan manusia, Azura.”
“Iya juga, sih,” ucapku sedih. Aku menoleh ke arahnya yang masih asik melayang-layang. “Gwen, nanti kau tidak usah mengikutiku yaa?”
Gwen memicingkan matanya kearah ku. “Tidak,” ucapnya singkat, padat, dan jelas.
“Kumohon yaaa…” aku
menangkup kedua tanganku sambil memasang puppy eyes andalanku.
“Tidak.”
“Tidak.”
“Azura,” ah, ternyata
itu Bibi. “kau sudah bangun rupanya?”
“Cepatlah turun lalu sarapan, jam setengah enam nanti kita berangkat ke sekolah,” lanjut Bibi.
“Baiklah, aku akan turun sebentar lagi.”
“Cepatlah turun lalu sarapan, jam setengah enam nanti kita berangkat ke sekolah,” lanjut Bibi.
“Baiklah, aku akan turun sebentar lagi.”
senyumku pudar tepat
saat Bibi ke luar dari kamar. Aku tidak terlalu suka dengan acara study tour.
Menurutku itu melelahkan, dan aku tidak suka jika berkelompok dengan anak
perempuan yang terus bergosip.
Oh, satu lagi, jangan
tanyakan mengapa aku bangun pagi-pagi subuh begini. Ini semua ulah Gwen yang
telah membangunkanku.
Setelah selesai, aku
langsung turun ke bawah untuk sarapan dan bergegas ke sekolah –dengan Gwen yang
masih terus mengikutiku tentunya.
“Gwen, hati-hati ya,”
ucap Paman sambil mengacak pelan rambutku.
Bibi memelukku sebentar. “Jaga diri baik-baik, Tuan Putri.”
Bibi memelukku sebentar. “Jaga diri baik-baik, Tuan Putri.”
Mereka langsung
berangkat ke kantor kala aku sampai di sekolah. Masih pagi, dan di sini sudah
ramai sekali. Sedikit aku mendengar percakapan anak perempuan yang terlalu
excited bahkan ada beberapa dari mereka yang terang terangan ingin sekelompok
dengan lelaki tampan –yang bahkan aku tidak tau namanya.
Tiba-tiba, Bu Theodora
telah berdiri di podium yang telah disiapkan sambil memegang mikrofon di tangan
kanannya..
“Perhatian, semuanya.
Ibu akan membacakan kelompok yang telah dipersiapkan. Harap perhatiannya.
Kelompok satu, Fasya Adinda, Sarah Vanesa, Gita Putri, Farhan Wijaya, dan
Leonard Ath. Kelompok dua—”
“Kyaaa! Aku sekelompok
dengan Leo.”
Teriakan histeris keluar dari mulut tiga orang perempuan yang kuyakini sekelompok dengan Leo.
Teriakan histeris keluar dari mulut tiga orang perempuan yang kuyakini sekelompok dengan Leo.
“Kelompok terakhir,
Gilang Sanjaya, Azura Abriella, Netta Gabriella, Sonic Ambrosius, dan Anetta
Feyrin.” ucapnya. “Dimulai dari kelompok satu, silahkan kalian memasuki hutan
itu, lalu mencatat tumbuhan yang sudah kalian pelajari. Dan berjalanlah sesuai
dengan peta yang telah Ibu berikan.”
Bu Theodora menunjuk
hutan mengerikan itu. Yang benar saja? Apa itu tidak berbahaya? Bahkan cahaya
mentari hanya bisa masuk sedikit lewat celah yang tidak tertutup dedaunan.
Acara itu dimulai dari
kelompok satu yang pertama masuk, dilanjut kelompok dua, tiga, dan seterusnya
sampai kelompokku giliran terakhir untuk masuk.
Aku masuk ke dalam hutan
dengan berjalan di paling belakang, sementara yang paling depan adalah Sonic,
karena hanya dia di kelompok ini yang bisa membaca peta.
Di tengah perjalanan,
mataku tak sengaja melihat kelinci yang terjebak oleh jebakan yang biasa
dipakai pemburu. Aku menghampiri kelinci itu lalu melepaskannya, untung saja
tidak ada bagian yang luka dari tubuh kelinci itu.
Aku berbalik ke
belakang, dan ternyata aku telah tertinggal. Bagus, aku terjebak di dalam hutan
sendirian, dan kabar buruknya aku adalah kelompok terakhir yang mana nantinya
tidak ada kelompok lain yang melewati hutan ini lagi.
“Tunggu.”
Suara siapa itu? Oh, Tuhan kumohon jauhkan aku dari segala monster jahat yang ada. Takut-takut aku menengok ke belakang, mataku membulat sempurna kala melihat lelaki seumuranku dengan pakaian penuh lumpur.
Suara siapa itu? Oh, Tuhan kumohon jauhkan aku dari segala monster jahat yang ada. Takut-takut aku menengok ke belakang, mataku membulat sempurna kala melihat lelaki seumuranku dengan pakaian penuh lumpur.
“Dagingku pahit! Tolong
jangan makan aku!”
“Aku tidak doyan.”
Tapi tunggu, sepertinya
suara ini tidak asing. Aku membuka mataku perlahan, ternyata lelaki itu telah
mendekat ke arahku. Dia Leo. Tapi mengapa tubuhnya penuh lumpur?
“Jangan bilang kau juga
tertinggal.” wajahnya mendekat ke arahku, otomatis aku menjauhkan wajahku agar
tidak terlalu dekat.
“Mengapa kau penuh
dengan lumpur?”
“Aku terjebak di lumpur hidup dan parahnya, tidak ada yang menyadari itu.”
“Mangapa kau tidak teriak meminta bantuan?”
“Malas menggunakan suara.”
“Aku terjebak di lumpur hidup dan parahnya, tidak ada yang menyadari itu.”
“Mangapa kau tidak teriak meminta bantuan?”
“Malas menggunakan suara.”
Ok, itu jawaban yang
tidak masuk akal.
“Sebaiknya, kita tunggu
kelompok lain lewat.”
“Kabar buruk, karena akulah kelompok terakhir.”
“Kabar buruk, karena akulah kelompok terakhir.”
Yang kupertanyakan
adalah, di mana Gwen saat ini?
“Kalau begitu, mari kita
cari jalan keluar sendiri.” Leo berjalan duluan meninggalkanku yang masih diam
berdiri.
“Tunggu!”
Akhirnya aku terpaksa mengikutinya.
“Tunggu!”
Akhirnya aku terpaksa mengikutinya.
Kami berjalan melewati
pohon pohon besar dan jurang. Aku hampir saja terjun bebas ke jurang jika Leo
tak sigap menarik tanganku.
“Lain kali, hati-hati,” ucapnya sambil menatapku dengan tajam.
“Lain kali, hati-hati,” ucapnya sambil menatapku dengan tajam.
Kami terus berjalan hingga
akhirnya menemukan tenda-tenda yang berdiri, dan sudah pasti itu tenda dari
sekolah kami karna logonya pun sama persis.
“Astaga, Leo! Bu
Theodora dan Pak Gugun sedang mencarimu tau? Kau ke mana saja?” tanya, siapa
ini? Fasya ya? Ah siapa saja lah, aku tak mengenal mereka.
“Kenapa kau penuh lumpur seperti ini?” tanya Gita.
“Maafkan kami, Leo,” ucap Sarah
“Kenapa kau penuh lumpur seperti ini?” tanya Gita.
“Maafkan kami, Leo,” ucap Sarah
Sementara Farhan hanya
menatap gadis-gadis itu dengan tatapan memuakkan. “Dasar lebay!” ucapnya.
Leo tampak masa bodoh
dengan wajah datarnya. Ia melirikku sebentar lalu menarik tanganku menjauh dari
kerumunan orang-orang yang panik akan hilangnya Leo.
Aneh, dasar Singa.
Setelah sampai di tempat
yang lumayan sepi, Leo hanya diam berdiri tanpa ingin berbicara.
“Untuk apa kita ke sini?”
Leo melirikku dari sudut mata tajamnya. “Menjauh dari kerumunan orang-orang.”
“Mengapa kau mengajakku?”
“Untuk apa kita ke sini?”
Leo melirikku dari sudut mata tajamnya. “Menjauh dari kerumunan orang-orang.”
“Mengapa kau mengajakku?”
Leo menatapku dengan
tatapan tajam miliknya. Oke, apa aku terlalu cerewet? Kurasa tidak.
“Aku hanya…,” Leo
menarik napas lalu membuangnya secara kasar. “sudahlah, lupakan,” ucapnya
sambil meninggalkanku
Lalu Leo pergi meninggalkanku sendiri. Apa maksudnya ya? Untuk apa ia membawaku kemari tapi ia sendiri malah pergi?
Aku mengela napas lelah, sampai sebuah suara membuatku celingukan.
Lalu Leo pergi meninggalkanku sendiri. Apa maksudnya ya? Untuk apa ia membawaku kemari tapi ia sendiri malah pergi?
Aku mengela napas lelah, sampai sebuah suara membuatku celingukan.
“Dia pelindungmu, Azura.
Kau akan baik-baik saja. Aku akan terus menyayangimu, Azura.”
Itu pasti, Gwen.
#sabtulis
Komentar
Posting Komentar